11.50 WIB, Asap mengepul ke langit membaur dengan udara
siang “Kota Angin” begitu orang biasa menyebutnya, kota kelahiran Fadli. Tampak
beberapa petugas KA memberi isyarat bahwa Kereta akan segera meninggalkan
Stasiun. Kereta mulai menjauh hingga Stasiun kecil kota Nganjuk perlahan
mengabur dan hilang.
“gak
kerasa, udah duduk dikursi ini... lagi”. Suara Faadi
lirih helaan nafas panjang sebagai penutupnya. Duduk dikursi yang sama, yang ia
tempati saat akan berangkat ke Kota Nganjuk namun kini dengan suasana hati yang
jauh berbeda.
Bangku yang dekat dengan jendela,
kebiasaan Fadli jika bepergian menggunakan kereta, pandangannya menerawang jauh
keluar jendela, disana hanya tanpak persawahan dan perbukitan. Yang ia liat
jauh dari sekedar apa yang ada didepan matanya sekarang, perasaan sangat-sangat
dalam dan tidak ada yang tau, bahwa dibilik hatinya ada sebuah rasa yang
tertahan.
Stasiun persinggahan pertama
setelah berangkat dari kota Nganjuk sudah terlewati, tampak beberapa penumpang
dari Stasiun persinggahan mencoba mencocok-cocokan tiket yang dipegang dengan
nomer kursi yang sudah tertera. Pedagang asongan mulai bertambah, mondar-mandir
dengan menjajakan dagangannya. Bau gerbong memancarkan bau beraneka ragam,
meski didalam gerbong ada 4 buah kipas angin gantung tetapi tidak mengurangi
sedikit pun aroma yang tercipta dan menyatu dengan udara panas siang itu, mulai
dari asap rokok, bau parfum dengan entah bermerek apa hingga satu gerbong dapat
mencium baunya, sampai bau durian tidak lupa ikut ambil bagian. Tapi semua itu
tidak membuyarkan lamunannya.
“kemarin
aku punya waktu tujuh hari, dan 3 kali menatap mukanya langsung, kenapa tetep
gak bisa terucap, Bodoh!, dasar Bodoh!, nyia-nyiain waktu gitu aja mungkin
sekarang dia udah terlewat buat kamu, dli.. dasar payah!“ pekiknya
sendiri didalam hati, ia tersenyum namun ada kegetiran yang tersirat didalamnya.
Ya, sebuah senyum seseorang yang Kalah.
Pikirannya mengawang, meski
raga sudah jauh meninggalkan kota angin, tapi tidak bisa dipungkirin sisi lain
dari dirinya masih tertinggal disana dan terjebak oleh sebuah rasa, hasil dari
keegoisan dan kepengecutannya.
Kini ia harus kembali berdiam di balik dinding
pengecut. Dinding egois yang memisahkan rasa itu dari hati yang ingin
diraihnya. Ia ikat erat-erat sayang yang sudah terlanjur pekat. Selamat.
♪♪ Melewatkanmu
di lembaran hariku
Selalu terhenti
di batas senyumanmu
Walau berakhir
cinta kita berdua
Hati ini
tak ingin dan selalu berdusta ♪♪
Handphonenya berdering sebuah
“Pesan”, disaat yang gak tepat. Yang ia butuhkan sekarang hanya ingin merenung,
sendiri. Tapi sebuah nama yang tertera dilayar Handphonenya membuatnya sulit
untuk menunda untuk membukannya,
[1Pesan
Diterima from Amel]
Segera ia buka, “hati2 di jalan ya, makasi buat semuanya :)” senyumnya mengembang.
Ia tekan tombol [Replay], tapi sesaat itu juga ia urungkan,
[Cancel].
Dan sekarang suasana didalam
Gerbong perlahan bercampur-aduk, persis dengan apa yang sekarang ada didalam
hatinya. (...)
@Stasiun
Akhir Banyuwangi. Pukul 21:15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar